Dikunjungi Ibu-ibu Tua

Pipi saya menggesek aspal cukup keras suatu ketika. Saya sedang naik motor cukup laju di sebuah jalan kecil yang sepi sebelumnya. Sayangnya, saya tak memperhatikan lubang yang sebenarnya tidak dalam di tengah jalan itu. Ban motor bergoyang, pengendaranya terlempar.

Saat-saat itu, sekitar delapan tahun lalu, saya sering melayani sebagai gitaris yang mendampingi seorang pendeta yang memimpin sebuah persekutuan ibadah kecil. Persekutuan itu, separuh lebih anggotanya adalah ibu-ibu tua.

Satu hari setelah kecelakaan itu, enam atau tujuh ibu-ibu tua datang ke rumah saya. Saya hanya manggut-manggut ketika satu per satu dari mereka berkata, “Tidak apa-apa?” atau “Lain kali hati-hati,” atau, “Cepat sembuh.” Waktu itu saya berharap dikunjungi seorang teman wanita saya. Saya berharap dia yang datang pertama kali. Namun, Tuhan mendatangkan penjenguk-penjenguk lain.

Kedatangan para penjenguk tua ini mendatangkan renungan tersendiri bagi saya. Tahun-tahun berlalu, dan ada satu yang tak berubah: mereka masih saja suka menjenguk orang-orang sakit. Selain mengunjungi orang sakit, mereka suka sekali berdoa.

Secara alami, ketika kita semakin tua, kita semakin peka atas kesusahan orang lain — suatu hal yang susah dipahami oleh orang yang lebih muda. Namun, secara rohani, Tuhan ingin agar kita peka pada orang lain. Tak perlu menunggu tua, kita dapat memberi penghiburan dan semangat bagi mereka yang membutuhkan. (*)

About sidiknugroho

Guru SD, penulis lepas. Suka film, buku, alam terbuka, dan gitar. Tinggal di Pontianak

Posted on December 20, 2011, in Catatan, Refleksi. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment