Lihatlah, Niat Menulis Saja Tidak Cukup

Menulis novel tidaklah semudah yang dibayangkan. Menulis novel adalah sebuah pekerjaan yang menuntut banyak pengetahuan bahasa, seperti penggunaan berbagai tanda baca (kutip, koma, titik, titik tiga, dan sebagainya), penggunaan kalimat naratif, pembedaan kata depan dan awalan, penggunaan dialog dan kalimat langsung, dan lain sebagainya. Itu baru masalah teknis, belum lagi masalah-masalah lainnya yang berkaitan dengan alur, penokohan, latar, dan lain sebagainya.

Beberapa hari yang lalu, saya dikirimi seseorang sebuah tulisannya. Saya tercengang — benar-benar tercengang! — naskah itu sudah digarapnya sebanyak 13 halaman, ketikan satu spasi. Yang membuat saya tercengang adalah: naskah ini sudah cukup panjang, tapi tata bahasanya benar-benar amburadul. Perhatikanlah paragraf pertama tulisan ini, saya salin sesuai aslinya. Di bawahnya, saya memberikan revisi saya untuk paragraf pertama itu.

***

Tulisan Asli:

Di suatu petang , suara anak-anak bermain di halaman gereja Katedral .Sambil menarik napas dan menghadap kearah jendela yang sudah berdebu” fhuuu… “suara yang ditiup oleh Kerocin berirama di koridor ulama ruang doa sambil melihat waktu ia memutar kain yang basah dan melapnya di jendela gereja itulah anak yatim piatu yang diadopsi di gereja tersebut”Heii” sapa Hamcyn” kenapa kau tidak ke festival malam ini ?” Tanya Hamcyn “Ahhh aku malas lagi pula setiap pergi kefetival pasti ada saja anak-anak berandalan yang selalu menganggu “hmm heii.. kau sebaiknya kau ikut saja, dari pada kau sendiri di gereja …yahh dan juga rumah kita sendiri…”

Revisi Saya:

Pada suatu petang, terdengar suara anak-anak bermain dengan gembira di depan gereja katedral. Di koridor ulama ruang doa, seseorang sedang bekerja. “Fuuu…,” desah napas Kerocin terdengar seperti berirama, seperti angin. Beberapa kali ia menarik napas panjang, menghembuskannya ke arah jendela yang sudah berdebu. Sambil sesekali melihat jam, Kerocin memutar kain basah dan melapnya ke kaca jendela gereja. Kerocin adalah anak yatim piatu yang diadopsi di gereja katedral itu.

“Hei!” terdengar panggilan. Itu suara Hamcyn, kawannya. “Kenapa kau tidak ke festival malam ini?”

“Ah… aku lagi malas. Setiap pergi ke festival, ada saja anak-anak berandalan yang selalu mengganggu.”

“Hm…,” gumam Hamcyn. “Kali ini sebaiknya ikut saja, daripada kau sendiri di gereja. Di rumah juga sepi.”

***

Saya tidak bisa membayangkan jika seorang editor menerima naskah seperti ini. Terlepas dari kehebatan ide cerita, masalah teknis adalah sesuatu yang mendasar. Kau tidak menghabiskan uang ratusan juta rupiah untuk memperindah dinding dan atap rumahmu bila fondasinya dibangun asal-asalan.

Paragraf pertama tulisan ini saja sudah mengerikan, apalagi jumlahnya mungkin mencapai ratusan halaman. Saya membayangkan, bila saya yang menjadi editor, dan atasan saya memutuskan menerbitkan naskah ini, saya akan memutuskan berhenti bekerja — daripada mati muda.

Mungkin orang ini sangat berniat jadi penulis, tapi jarang sekali membaca. Untunglah niat itu menjadi penulis, yang berkreasi dengan teks — setidaknya itu tidak mencelakakan orang lain. Bayangkan saja bila dia berniat menjadi montir, yang berurusan dengan mesin.

Hanya satu cara untuk menyelamatkan orang ini dan tulisannya. Membaca — membaca sebanyak-banyaknya. Saya pun memberi masukan agar penggarapan naskah dihentikan dulu. “Baca buku, pelajari naskah lain yang sudah diterbitkan. Pelajari semua masalah teknis menulis dengan memperhatikan tanda baca, dialog, kalimat langsung, dan sebagainya,” tulis saya. (*)

Pontianak, 28 September 2013

Dari Panti Asuhan yang Terbakar

Image

Saya menulis cerita Si Tuan Malam gara-gara melihat panti asuhan yang terbakar. Kejadian ini saya alami pada tahun 2007, saat saya kembali ke Singkawang, setelah hampir sepuluh tahun tidak ke sana.

Selama tinggal di Singkawang, waktu SMP, saya beribadah tiap Minggu di sebuah gereja kecil. Gereja itu belum memiliki gedung sendiri, masih menumpang di sebuah aula panti asuhan. Hampir tiap Minggu saya dan kawan-kawan seusia tampil mempersembahkan paduan suara di gereja — saya sering kebagian bermain gitar.

Seringkali, setelah ibadah selesai, saya bertemu dengan anak-anak panti asuhan. Mereka rata-rata berasal dari pedalaman Kalbar, kurang bisa akrab dengan saya dan teman-teman saya di gereja. Namun, beberapa kali saya membayangkan nasib mereka yang jauh dari orangtua mereka. Saat itu saya berpikir, mungkin perlu usaha lebih keras untuk menjalani kehidupan seperti mereka.

Tamat SMP, tahun 1995, saya pindah ke Semarang. Pada tahun 1996 dan 1997 saya sempat kembali ke Singkawang beberapa kali. Kemudian saya kuliah di Malang, lalu bekerja di Sidoarjo.

Pada tahun 2007, Kota Singkawang sudah banyak berubah. Salah satu perubahan yang membuat saya terpana adalah panti asuhan yang terletak di Jalan Diponegoro, di belakang Hotel Mahkota, yang aulanya menjadi tempat beribadah saya dulu. Panti asuhan itu terbakar! Masih ada beberapa dinding yang berdiri, tapi secara keseluruhan kondisi bangunannya sudah amburadul.

Di depan panti asuhan itulah saya kemudian merenung, membayangkan masa-masa SMP dulu. Saya mampir ke sebuah warung, kemudian menyusun cerita berjudul “Pencarian Kolam Mukjizat” di mana bab pertamanya saya beri judul ‘Rumah-rumah yang Terbakar’. Saya pun membayangkan sebuah rumah asuh yang saya beri nama Rumah Damai dalam cerita yang saya tulis.

Sementara itu, nama tokoh Si Tuan Malam lahir karena saya suka begadang sejak kuliah. Saya suka menulis pada malam hari karena suasana malam yang lebih tenang. Pada malam hari, saya lebih leluasa menjadi “tuan” bagi imajinasi yang mengalir dalam pikiran saya.

***

Penulisan cerita “Pencarian Kolam Mukjizat” sempat tersendat-sendat karena beberapa hal. Tahun 2009 cerita itu akhirnya selesai. Satu-satunya hal yang membuat saya yakin bahwa saya harus menyelesaikan cerita itu adalah kesaksian ilustrator saya, Angelia Lionardi.

Angelia Lionardi, ilustrator untuk buku “Pencarian Kolam Mukjizat” cetakan pertama, menyatakan kepada saya bahwa adiknya, yang saat itu masih SD, sangat suka dengan cerita Si Tuan Malam itu. Saya biasanya menyerahkan beberapa bab yang sudah selesai kepada Angelia untuk dibuatkan ilustrasi. Bab-bab itulah yang dibaca adiknya, dan adiknya selalu menunggu-nunggu bab-bab selanjutnya. Dari antusiasme adiknya itu juga saya mendapat ide untuk menulis cerita itu secara berseri.

Setelah naskah dan ilustrasi selesai semua, “Pencarian Kolam Mukjizat” saya ajukan ke sebuah penerbit. Namun, penerbit itu tak bersedia menerbitkannya. Teman saya satu kos memberi saran: terbitkan sendiri saja. Usul itu saya pandang baik. Setelah modal untuk mencetak buku terkumpul, saya pun mencetaknya dengan bantuan Yosua Agustinus Sirait yang menjadi desainer grafis dan layouter.

Sungguh tak terduga, novel “Pencarian Kolam Mukjizat” itu disukai murid-murid yang saya ajar di SD Pembangunan Jaya 2. Ada juga beberapa teman lain yang memesan, namun murid-murid saya memiliki kesan yang tak terduga terhadap cerita yang saya tulis. Ada seorang murid saya bernama Andika Constantine yang sampai memeragakan-membayangkan cara tokoh-tokoh di dalam novel itu berkelahi dengan serigala. Jessica Irawan, murid saya yang lainnya, menyelesaikan pembacaan novel itu dalam sehari; dan dia selalu menanyakan kapan novel kedua Si Tuan Malam saya tulis.

***

Begitulah sekilas proses lahirnya Kisah-kisah Si Tuan Malam. Sudah dua cerita berhasil saya tulis. Di novel pertama (cetak ulang) dan novel kedua, saya menggunakan ilustrator lain untuk menggarap ilustrasi, yakni Zul M.S. Penggantian ilustrator saya lakukan untuk memudahkan pengerjaan karena Zul M.S. tinggal sekota dengan saya di Pontianak.

Tak lama lagi saya akan menulis novel ketiga Si Tuan Malam. Saya berencana, akan ada empat novel Si Tuan Malam yang (akan) saya tulis. (*)

Pontianak, 26-27 Agustus 2013

(Catatan: Info untuk pemesanan novel Si Tuan Malam bisa dilihat di situs http://www.sidiknugroho.com)

Pria-pria yang Bimbang Menikah

Pertanyaan tentang pernikahan selalu saja disampaikan bila seseorang berkenalan dengan saya, setelah bertanya apa pekerjaan saya dan berapa usia saya. Itu sudah bukan sesuatu yang mengusik saya lagi.

Sore ini, saya berada cukup lama di warung kopi sambil menunggu hujan reda. Seorang bapak yang sudah cukup tua, usianya sekitar 60 tahun, mengobrol dengan saya tentang pernikahan dan keluarga. Ia berkata, “Keadaan sekarang sudah jauh berbeda. Dulu, seorang pria ketemu wanita, muncul rasa saling suka, pacaran, menikah. Sekarang, hal itu tampaknya lebih rumit.”

Saya berkata kepadanya, “Saya punya teman-teman yang tidak menikah dan kesepian. Tapi, ada juga teman-teman yang berbahagia dengan keadaan itu. Kalau Bapak mau dengar, saya mau bercerita tentang pria-pria yang tidak menikah.” Menarik, ia mau mendengar dan memperhatikan cerita-cerita saya tentang mereka.

“Tapi, ini bukan mereka yang menyukai sesama jenis, kan?” tanyanya.

Saya menggeleng. “Bukan, Pak. Saya tidak mengenal banyak pria yang suka sesama jenis.

“Mereka yang mau saya ceritakan ini bisa dikatakan pria-pria yang baik, setahu saya. Mereka menyukai wanita. Mereka juga pria yang, setahu saya, tidak mempunyai penyakit seperti impotensi. Kalaupun ada yang demikian, saya tidak tahu pasti. Tapi, kelihatannya, mereka pria-pria yang sehat secara seksual. Beberapa di antara mereka sudah saya kenal beberapa tahun dan pernah bercerita menyukai wanita ini atau itu.”

Bapak itu mengangguk-angguk. Saya pun mulai bercerita tentang beberapa kasus yang saya temui, kasus-kasus yang menyebabkan beberapa pria bimbang menikah.

1. Kencan-kencan yang Buruk

Seorang pria, anggaplah ia bernama Jack, mengajak kencan seorang wanita dengan menonton film bioskop. Jack sangat menggilai film, nyaris tidak pernah terlambat menonton film bioskop, dan biasanya membaca review film yang akan ditontonnya terlebih dahulu sebelum menonton. Si wanita yang diajak Jack sebenarnya mengenal sosok Jack yang suka menonton film. Tapi, ia terlambat datang ke bioskop karena hal sepele. Jack pun kesal karena keterlambatan itu.

Bukan hanya terlambat, saat menyaksikan film, si wanita sama sekali tak menunjukkan minat terhadap film yang ditonton. Tidak ada obrolan yang menarik di antara mereka berdua setelah menonton film tentang film yang ditonton karena si wanita tidak menunjukkan antusiasme.

Pada kesempatan lain, Jack mengajak wanita lain kencan. Baru bertemu beberapa kali di gereja, si wanita sudah menunjukkan penampilan yang nakal dan menggoda. Si wanita terlalu agresif. Suatu malam, Jack dan wanita itu makan malam di sebuah food court di Surabaya. Si wanita mengenakan kaos yang kerahnya sangat rendah. Sepasang payudaranya seperti hendak menyembul keluar kalau ia membungkuk mengambil makanan. Jack kurang suka melihatnya, si wanita malah menjadi perhatian orang lain yang ada di sekitar mereka.

Bukan hanya itu, beberapa hari setelah makan malam itu, si wanita berkata hendak meminjam uang dua juta rupiah kepada Jack karena saudaranya mengalami kecelakaan. Jack bukannya tidak mau menolong, tapi jadi mendapat kesan bahwa ia sedang dimanfaatkan. Jack merasa, permintaan bantuan itu terasa sangat terburu-buru ditujukan kepadanya. Ia pun menjaga jarak dengan wanita itu. Beberapa minggu kemudian, ia mendapat kabar saudara si wanita itu tertolong dengan bantuan pihak keluarga si wanita.

2. Hobi atau Minat yang Lebih Membahagiakan

Saya mengenal seorang pria, anggaplah ia bernama Sugeng. Sugeng sangat menggilai musik dan film. Selain bekerja dan menunjukkan perhatian untuk orangtua dan saudara-saudaranya, hidup Sugeng ia arahkan di musik dan film. Ia menciptakan musik, membeli alat musik, menonton film, menganalisa film. Ia bergabung dengan teman-teman sehobi, menikmati dunianya. Semua kegiatan itu membuat hidupnya terasa sangat bermakna.

Sedikit banyak, poin pertama, yaitu kencan yang buruk, pernah dialami Sugeng. Suatu waktu ia pernah berkata, “Jikalau dengan musik dan film aku berbahagia, tapi wanita-wanita yang datang dalam hidupku ini hanya membuat repot, mengapa aku harus memusingkan diriku dengan menghabiskan waktu bersama mereka?”

Sekilas ucapan Sugeng itu terdengar sinis dan egois, tapi saya rasa Sugeng lebih mengerti dengan apa yang ia ucapkan.

3. Suka Bertualang

Saat menumpang bis dari Yogya ke Solo pada liburan akhir tahun lalu, saya bertemu dengan seorang pria. Ia seorang dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, dan bila akhir pekan mengajar di sebuah universitas di Solo. Pria ini sudah tua, usianya mendekati 60 tahun. Ketika berbicara dengannya di dalam bis, saya takjub.

Pria ini bercerita bahwa sejak masa mudanya, sejak mahasiswa, ia memang berniat menjadi seorang petualang. Dan niat ini didukung dengan studinya. Fokus studinya adalah psikologi sosial, yang sedikit banyak berkaitan dengan perilaku atau budaya suatu masyarakat atau komunitas. Ia melakukan penelitian di banyak tempat, mengkaji berbagai perilaku masyarakat dan komunitas. Ia bercerita memiliki banyak rekaman wawancara dengan beberapa raja di kerajaan-kerajaan kecil yang masih ada di beberapa daerah di Indonesia.

Ia dulu juga suka menyelundupkan minyak wangi dari Timor Timur sebelum wilayah ini bersatu dengan Indonesia. Cara-cara yang ia gunakan untuk menyelundupkan minyak wangi sangat menarik perhatian saya, seperti kisah-kisah detektif.

Tiap enam bulan sekali ia pasti bepergian ke luar pulau Jawa sejak ia kuliah hingga sudah menjadi dosen. Ia berkata tidak memiliki harapan apa pun tentang jodoh. “Bila ada ya menikah, bila tidak ada tidak masalah,” katanya.

4. Pemuasan Hasrat Seksual yang Mudah dan Murah

Sudah menjadi rahasia umum, di semua kota besar selalu saja ada wanita pemuas birahi. Saya tinggal lima tahun di Sidoarjo, dan saya sering mendengar cerita tentang lokalisasi yang ada di Surabaya dan Pandaan yang tak jauh dari Sidoarjo.

Lokalisasi yang ada di Surabaya, Dolly, konon merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. “Di sana banyak pilihannya, Mas,” kata seorang teman saya yang sering nongkrong dengan saya di warung kopi. “Sampean punya uang 150 ribu saja sudah bisa dapat barang yang bagus banget.”

“Kalau yang di Pandaan lain lagi, Mas,” katanya. “Di sana kita harus menyewa vila kalau mau bawa cewek. Cewek di sana juga lebih mahal karena kita bawa lebih lama. Di Dolly hitungannya satu setengah jam, di Pandaan biasanya pakai short time, 3 jam, atau long time, semalaman. Yang short time saja biasanya pasang harga tiga ratus ribu.”

Pemuasan hasrat seksual yang murah dan mudah membuat seorang teman saya yang lain berkelakar saat ia sedang bermasalah dengan pasangannya. “Mungkin aku akan putus,” katanya. “Mengayomi cewek cerewet seperti dia bukan hanya menguras uang, tapi tenaga, pikiran, dan waktu. Aku pun enggak bingung dengan seks. Kalau sebulan perlu main dua kali, cari cewek saja di Dolly, keluarkan uang tiga ratus ribu, beres perkara.”

5. Wanita-wanita yang Rumit

Saya mengategorikan wanita yang rumit ini ke dalam dua bagian. Pertama, mereka yang terlalu banyak menuntut. Zaman sekarang memang wajar bila seseorang dituntut mapan secara finansial. Tapi, beberapa tuntutan kadangkala tidak masuk akal. Teman saya di Bandung pernah bercerita bahwa seorang wanita yang dikenalnya akan selalu bertanya apa merk mobil yang dimiliki pria yang mendekatinya.

Teman saya di Sidoarjo lain lagi ceritanya. Ia berkenalan dengan seorang wanita di Facebook. Suatu ketika ia meng-update status menggunakan Blackberry. Si wanita menanyakan lewat kotak pesan apa PIN-nya, teman saya mengatakan bahwa Blackberry yang ia gunakan untuk meng-update status adalah Blackberry pinjaman. Begitu tahu itu Blackberry pinjaman, si wanita langsung menjauh — menjauh sebelum didekati.

Kedua, wanita yang rumit adalah wanita yang memang tidak mau berkomitmen. Hal inilah yang dialami oleh teman saya, anggap saja ia bernama Yudi. Pada zaman chatting masih menggunakan mIRC, Yudi sudah menemukan wanita-wanita jenis ini: wanita-wanita yang mau saja diajak “one night stand”. Ia bercerita kepada saya, tidak kurang dari lima wanita yang berhasil dibawanya kencan hingga berakhir di ranjang gara-gara berkenalan lewat mIRC.

Wanita-wanita ini juga sama seperti pria yang mengajak mereka kencan: mereka menikmati hubungan tanpa status ini. Mereka enggan terikat dalam hubungan yang bernama pacaran, apalagi pernikahan. Keterikatan semacam itu selalu saja menimbulkan masalah besar bagi mereka.

***

Itulah beberapa cerita yang saya sampaikan kepada bapak tua itu. Tampaknya ia bisa memahami apa yang terjadi pada masa kini. “Zaman selalu berubah ya, Nak,” katanya kepada saya.

“Iya, Pak. Tapi cinta tetap cinta, walaupun dunia ini selalu berubah.”

“Maksudmu?” tanyanya sambil menghembuskan asap rokok.

“Maksud saya, tetap ada orang yang perlu dan bahkan harus sungguh-sungguh kita cintai untuk membuat hati ini sering gembira dan damai.”

“Benar, Nak, mencintai orang yang sama secara terus-menerus membuat kita lebih dewasa. Ini bukan melulu soal pernikahan lho. Banyak pernikahan yang juga berakhir dengan perceraian kok. Cerita-ceritamu itu ada yang baik, ada yang… yah… menurut saya kurang baik.”

Saya mengangguk, mengiyakan.

“Apakah kamu sendiri sudah menemukan seseorang untuk dicintai, Nak?”

Saya tersenyum. “Hanya Tuhan yang tahu, Pak.”

***

Pontianak, 18 April 2013

Sukses Berdamai dengan Diri Sendiri

asa

Jikalau Anda suka mendengar motivator berbicara, tontonlah “Raging Bull”. Jikalau Anda getol membaca kisah-kisah sukses, tontonlah “Raging Bull”. Apakah “Raging Bull” adalah film motivasi yang berisi kisah sukses? Bukan.

Bagi saya, “Raging Bull” adalah film tentang dunia tinju yang paling berkesan setelah “The Fighter” dan “Cinderella Man”. American Film Institute menobatkan “Raging Bull” sebagai film olahraga terbaik sepanjang masa. Kisah hidup Jake LaMotta (Robert De Niro) disajikan dengan begitu dramatis di tangan sutradara Martin Scorsese.

Kehidupan Jake La Motta yang penuh liku terutama disebabkan oleh sifatnya yang emosional. Jake sangat posesif, pencemburu, dan mudah naik darah. Di balik karir tinjunya yang penuh prestasi, kehidupan rumah tangganya berantakan. Untunglah ia memiliki adik, Joey (Joe Pesci), yang pengertian kepadanya. Adiknya ini juga menjadi asisten pelatih Jake.

Di atas ring tinju, amarah Jake juga mudah meluap. Beberapa adegan tinju di film ini tersaji sangat baik. Walaupun adegan di atas ring tinju tidak terlalu banyak ditampilkan di sepanjang film, namun sangat menohok dan efektif. Sebuah adegan tinju yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika Jake bertarung dengan seorang petinju yang disebut istri dan adiknya berwajah tampan. Sebelum bertemu dengan petinju itu pun, Jake sudah cemburu. Di atas ring, saat mereka bertarung, wajah petinju itu dihajarnya habis-habisan.

Adegan tinju lainnya yang menguras emosi adalah salah satu pertarungan antara Jake dengan musuh bebuyutannya, Sugar Ray Robinson. Di pertarungan ini, wajah Jake berdarah-darah. Keringat dan darah sudah bercampur-baur, muncrat di sana-sini. Di sinilah saya jadi paham mengapa Martin Scorsese memutuskan untuk menggarap film ini dalam format hitam putih (hanya ada sangat sedikit bagian yang ditampilkan berwarna).

Saya menduga sosok asli Jake LaMotta mirip preman, perangainya liar. Inilah yang mungkin membuat Martin Scorsese tertarik mengangkat kisah hidupnya sebagai film. Kemudian, kerjasama antara Martin Scorsese dengan Robert De Niro dan Joe Pesci berlanjut dalam dua film lain tentang mafia, “Goodfellas” dan “Casino”. (Hal yang menarik pada ketiga film ini adalah pola dialog yang mirip: pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menekan lawan bicara untuk jujur, penuh makian, dan tak jarang kalimat yang sama diulang-ulang.)

Setelah memutuskan berhenti bertinju, Jake hidup urakan. Ia tak lagi menjaga berat badannya. Ia suka mabuk dan berfoya-foya di kafe yang didirikannya. Badannya menjadi gembrot. Perubahan yang terjadi pada Robert De Niro sungguh mencengangkan. Karena suatu kasus di kafe yang didirikannya, Jake terpaksa dipenjarakan. Setelah keluar dari penjara, ia menjadi semacam pemandu berbagai acara di kafe-kafe. Hal inilah yang bagi saya dapat menjadi bahan renungan yang penting.

Jake sudah (pernah) sukses mendapatkan semua yang diinginkannya: rumah mewah, istri cantik, dan anak-anak. Namun, Jake tidak pernah sukses melawan amarah yang terus bergelora dalam dirinya sendiri. Dialah Raging Bull, banteng ketaton, yang suka mengamuk dan mengamuk. Pada akhir film, saat Jake berbicara di depan cermin, saya menduga, banteng ketaton ini sedang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri.

(Ulasan lainnya oleh Arie Saptaji bisa ditengok di sini:http://www.oocities.org/denmasmarto/ragingbull.htm)

SN, Ptk, 040413

Kisah Pendek tentang Hantu

Andi, bukan nama sebenarnya, pada tanggal 26 hingga 27 Februari 2013 susah tidur di rumah kosnya yang berada di dekat STKIP PGRI, Pontianak. Pasalnya, dalam pergantian hari itu, dia digoda hantu.

Andi awalnya gelisah, tidak bisa tidur di kamar kos hingga pukul 10 malam. Rumah kos itu memang sedang sepi, hanya dia sendiri di situ. Tidak seperti biasanya, suasana di sana terasa lain, seram. Dia pun keluar, ke warung kopi langganannya.

Jam 11 malam dia sudah sangat mengantuk, dia pulang ke rumah kos. Suasana seram itu masih ada. Dan, benar saja, tak lama setelah ia masuk ke dalam kamar — sekitar 15 menit — dia mendengar langkah-langkah kaki seseorang di depan kamarnya. Jelas sekali.

Andi tidak bisa tidur, menyetel beberapa lagu-lagu instrumen Antonio Vivaldi dari ponselnya. Sampai lewat tengah malam, rasa kantuk tak kunjung datang. Dia menyetel lagu-lagu itu berulang-ulang dengan suara agak keras supaya tidak mendengar apa pun dari luar kamarnya.

Namun, lagu-lagu itu tak kunjung membawanya tidur dengan pulas. Setengah tidur setengah sadar, Andi mendengar ada orang yang mandi di kamar mandi yang tak jauh dari kamarnya. Kemudian, terdengar langkah kaki orang masuk ke dalam kamar di sebelah kamar Andi. Kamar itu selama ini tak berpenghuni.

Setelah mendengar orang masuk di kamar sebelah, Andi merasakan dan melihat seekor kucing yang menduduki perutnya. Entah dari mana datangnya kucing itu. Dia usir kucing itu pelan-pelan dari atas perutnya. Kucing itu beranjak dari perutnya, duduk di tumpukan buku yang ada di samping tempat tidurnya.

Andi hendak membawa kucing itu keluar, sekalian melihat siapa orang yang mandi dan ada di kamar sebelah. Namun dia tak bisa bangun dari tidurnya, seluruh badannya terasa berat untuk diangkat. Andi pun menyadari, dia sedang bermimpi. Mimpi itu membuat sekujur tubuhnya kaku, lidahnya kelu.

Setelah berjuang menepis kaku itu dengan mencoba berteriak beberapa kali, Andi berhasil sadar. Dia terengah-engah, duduk di kasurnya, melihat seisi kamarnya yang dia khawatirkan dimasuki oleh hantu-hantu bertampang mengerikan.

Dia tak berani keluar kamar, memastikan apakah ada orang yang tadi benar-benar mandi dan masuk ke kamar. Lagu-lagu Vivaldi sudah tidak terdengar lagi dari ponselnya. Andi berbaring, tidak bisa tidur selama hampir sejam. Dia sengaja tidak memutar lagu lagi dari ponselnya. Dia ingin mendengar apa saja yang terjadi di luar kamarnya.

Beberapa motor dan mobil melintas. Suara jangkrik terdengar beberapa kali.

Tiba-tiba, bulu kuduknya berdiri saat ia mendengar suara desah napas seseorang yang begitu kuat dan panjang. “Haaahhh…,” suara seorang pria. Dua kali dia mendengar suara itu, seluruh tubuhnya jadi terasa kaku. Tidak ada suara langkah kaki atau gerakan lainnya, hanya desahan itu.

Kira-kira setengah jam kemudian, Andi mendengar suara lain: anjing menggonggong beberapa kali.

Terakhir, sebelum terlelap, dia mendengar seseorang menyuarakan, “Uuu…” dengan pelan. Tak jelas, itu suara pria atau wanita.

Andi membalikkan badannya, berusaha tidur sekuat tenaga. Dilihatnya jam, sudah hampir jam 4 pagi. Dia berhasil tidur tak sampai sejam, suara adzan di masjid depan rumah kosnya membangunkannya.

Perlahan-lahan Andi membuka kamarnya saat hari mulai terang, melihat kamar yang ada di sebelahnya. Tidak ada siapa-siapa. Andi termenung di depan kamarnya beberapa saat. Apakah hantu memang ada? Seumur hidupnya belum pernah dia melihat hantu. Tapi, apa yang baru saja dialaminya membuatnya sadar: hantu mungkin memang benar-benar ada.

Pontianak, 27 Februari 2013

Tiga Cara Menerbitkan Buku

Oleh: Sidik Nugroho*)

Zaman sudah berubah, menerbitkan buku tidak lagi susah. Penerbit makin banyak bermunculan. Banyak orang dan kalangan berlomba-lomba menerbitkan buku. Komunitas-komunitas sastra menerbitkan antologi puisi atau cerpen. Para dosen menerbitkan buku-buku teks atau panduan bagi mahasiswa, sekalian menambah poin angka kreditnya. Para pembicara seminar menulis buku yang berisi materi-materi seminarnya, sekalian dijual saat mengadakan seminar di berbagai tempat.

Tulisan ini saya buat untuk memberikan gambaran tentang cara-cara menerbitkan buku — terlepas dari sampai sejauh mana sebuah buku bisa bermanfaat bagi para pembacanya. Ada tiga cara yang saya kupas dalam tulisan ini. Dua di antara tiga cara yang akan saya sampaikan, saya rasa sudah cukup banyak dikenali dan dibahas — walau pembaca yang belum mengetahuinya mungkin juga ada. Cara ketiga yang saya bahas di sini bagi saya merupakan hal baru dan tampak menarik.

Penerbitan Umum (Konvensional)

Penerbitan ini adalah cara yang paling banyak ditempuh oleh penulis. Para penulis menyerahkan naskah pada penerbit, kemudian menunggu selama beberapa minggu atau bulan untuk mendapatkan kepastian naskahnya layak terbit, tidak layak, atau perlu direvisi sebelum terbit. Tiap penerbit memiliki waktu yang berbeda dalam menilai naskah. Penerbit Gramedia Pustaka Utama biasanya menilai sebuah naskah selama 2 hingga 3 bulan. Penerbit Bhuana Ilmu Populer melakukannya selama 60 hari. Penerbit Elexmedia, Dolphin, atau Bentang Pustaka melakukannya dalam waktu yang lebih pendek, yakni sebulan.

Bila sebuah naskah dinyatakan layak terbit, biasanya penulis diajak bekerjasama oleh penerbit, dalam hal ini diwakili editor, untuk merapikan (mengedit) naskahnya, memberikan usul tentang kaver buku, dan beberapa hal lainnya seputar bentuk buku yang akan dicetak. Penulis juga akan menerima surat kontrak atau perjanjian tentang hasil yang diterimanya dari penjualan bukunya.

Ada hasil yang diberikan sekali saja, biasanya dikenal dengan istilah atau sistem beli putus. Hasil berupa uang ini diberikan penerbit kepada penulis saat bukunya sudah selesai dicetak dan siap dipasarkan. Salah satu penerbit yang sering melakukan beli putus ini adalah Diva Press. Jadi, lewat cara beli putus, dapat dikatakan bahwa penulis menjual naskahnya yang dibayar secara kontan oleh penerbit.

Ada juga hasil yang diberikan dalam bentuk atau sistem royalti. Royalti adalah hasil penjualan buku yang diberikan kepada penulis secara berkala — biasanya 6 bulan sekali. Tiap penerbit memiliki penghitungan royalti yang berbeda. Ada penerbit yang memberikan royalti 10 persen dari harga jual sebuah buku kepada penulis, ada yang cuma memberikan 8 persen.

Hal yang perlu diwaspadai oleh penulis adalah kecurangan penerbit dalam melaporkan jumlah naskah yang dicetak atau laku terjual. Saat sebuah penerbit memutuskan untuk menerbitkan sebuah naskah dan mencetaknya sekian ribu eksemplar, umumnya penulis tidak melihat proses itu secara langsung. Demikian pula dengan jumlah naskah yang laku, penulis hanya menerima laporannya dan kemudian mendapatkan royalti. Karena itulah, memilih penerbit yang terpercaya sangat penting.

Penerbitan konvensional juga membutuhkan kegigihan penulis agar naskahnya bisa diterima penerbit. Penerbit selalu mencari naskah yang laku dijual, itu intinya. Sebagus apa pun sebuah naskah menurut penulisnya, tapi bila menurut editor tidak layak jual, naskah akan tetap ditolak. Faktor-faktor dalam menilai sebuah naskah, apakah layak jual atau tidak, berbeda pada masing-masing penerbit.

Tapi, tidak semua naskah yang ditolak oleh sebuah penerbit itu buruk. Tidak sedikit editor yang salah menilai sebuah naskah. Harry Potter dan Batu Bertuah yang ditulis oleh J.K. Rowling pernah ditolak oleh 12 penerbit. Walaupun ada penolakan, cara menerbitkan buku ini disukai banyak penulis karena setelah naskah dinyatakan layak terbit, penulis banyak dibantu oleh penerbit dalam memasarkan naskahnya. Penulis tinggal tahu beres, mendapat hasil yang diberikan penerbit kepadanya.

Penerbitan Indie (Self Publish)

Seorang penulis buku indie yang pernah banyak membagi ilmunya pada suatu kesempatan diskusi buku adalah Kirana Kejora. Beberapa tahun lalu, di Surabaya, ia memiliki kenalan grup-grup band indie dan model. Suatu ketika, kalau tidak salah tahun 2004, Kirana menulis sebuah buku yang berisi kumpulan puisi dan novelet. Di antara sekian banyak temannya yang musisi dan model, tidak ada yang melahirkan karya tulis seperti itu. Namun, teman-temannya inilah yang berjasa baginya. Mereka banyak yang mendukung buku karya Kirana, memberi ide untuk mengemas buku itu dengan menarik, lalu mengadakan launching buku itu di sebuah acara musik yang menampilkan band-band indie.

Tak dinyana, buku itu disambut dengan cukup baik. Kirana kemudian memberanikan diri untuk memasarkan buku-buku itu ke toko buku. Di toko buku Gramedia, Uranus, dan beberapa toko buku lainnya di Surabaya, Kirana berjuang agar buku-bukunya bisa terdistribusi lebih luas.

Kirana juga menyampaikan gambaran soal keuntungan penerbitan buku indie. Misalnya, sebuah buku dicetak dengan biaya Rp15.000. Buku tersebut bisa dijual dengan harga Rp60.000. Jadi, seorang penulis buku indie bisa mendapat keuntungan sebanyak tiga kali lipat harga bukunya bila ia melakukan direct selling, sama sekali tak menggunakan jasa distributor yang memasok buku-buku itu ke toko-toko buku.

Namun, kendala penerbitan secara indie tidak kecil. Pertama, seorang penulis harus memiliki modal cukup banyak untuk mencetak bukunya sendiri. Harga cetak sebuah buku bisa menjadi murah bilamana buku tersebut dicetak paling sedikit 500 buah (dicetak secara offset). Seseorang bercerita bahwa ia baru saja menerbitkan buku yang dicetaknya sebanyak 100 buah (dicetak secara Print on Demand, atau PoD). Harga cetak per buku itu dengan cara PoD Rp26.000, sementara bila dicetak sebanyak 500 buah, harga cetaknya hanya sekitar Rp15.000. Jadi, mencetak 100 buku itu mengeluarkan dana Rp2.600.000 sementara bila mencetak 500 buah akan memerlukan dana Rp7.500.000.

Nah, dari hal itu lahirlah kendala kedua: bila seorang penulis sudah memiliki dana yang cukup untuk mencetak buku di atas 500 buah, apa yang harus dilakukannya agar buku tersebut laku terjual? Penulis harus giat berpromosi lewat segala cara. Tidak lucu rasanya kalau buku-buku tersebut pada akhirnya harus dibiarkan menumpuk atau dibagi-bagikan gratis.

Saya belajar dari kegigihan Kirana mengatasi kendala-kendala itu, terutama kendala kedua. “Seorang penulis indie harus percaya diri, bahkan kadang harus narsis,” katanya. Bila tidak demikian, memang sulit meyakinkan orang lain bahwa kita menulis sesuatu yang penting. Sebagai seorang ibu yang membesarkan kedua anaknya sendirian, tak ayal Kirana terus memutar otak untuk membuat karya-karyanya bisa diterima seluas-luasnya. Penulis indie memang harus kuat menjalin jaringan dengan banyak pihak, pintar mengemas bukunya, pandai memanfaatkan berbagai peluang dan momentum untuk menyosialisasikan karya-karyanya.

Pada masa kini juga banyak situs yang menyediakan layanan penerbitan buku indie. Bila Anda berkunjung ke situs http://www.dapurbuku.com, http://www.bukuindie.com, atau http://www.nulisbuku.com, di sana bisa dipelajari berbagai langkah yang bisa dilakukan oleh seorang penulis untuk menerbitkan dan memasarkan bukunya.

Penerbitan Kerjasama, Indie dan Konvensional

 

Hingga kini, saya bersyukur bisa bertemu dengan Pak Agus Wijaya, seorang dosen di Universitas Surabaya (Ubaya). Dalam pertemuan kami dia menceritakan tentang usaha penerbitan yang tengah dirintisnya, bernama Brilian Internasional (www.brilian-internasional.com). Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit ini kebanyakan buku teks atau materi pendukung kuliah yang ditulis oleh dosen. Tapi, pada intinya, penerbit ini terbuka untuk menerbitkan berbagai jenis buku.

Dari pembicaraan dengan Pak Agus saya mendapatkan wawasan tentang cara ketiga ini. Cara ketiga ini saya sebut sebagai indie dan konvensional karena penulis ikut memiliki peran yang besar dalam penerbitan bukunya, begitu juga penerbit. Mari menyimaknya.

Hal yang unik dari cara ketiga ini adalah penulis ikut menanggung biaya cetak buku, memiliki kesempatan untuk menjual bukunya sendiri, tapi bukunya juga dipasarkan di toko-toko buku sehingga tetap mendapatkan royalti. Pertanyaannya, bagaimana perhitungan tanggungan biaya cetak, harga jual buku, dan royalti?

Semuanya diawali dari penentuan harga jual buku. Katakanlah, sebuah buku akan dijual dengan harga Rp50.000. Buku ini nantinya akan dicetak 1300 eksemplar: 1000 dipasarkan di toko buku, 300 diberikan kepada penulis. Nah, biaya yang ditanggung penulis adalah 60 persen dari 300 buku yang diterimanya (300 x Rp50.000 x 0,6), yaitu Rp9.000.000.

Nah, bila penulis berhasil menjual 300 buku yang menjadi jatahnya, ia sudah mendapat uang Rp15.000.000 (300 x Rp50.000). Ini berarti penulis sudah mendapatkan keuntungan Rp6.000.000 dari biaya awal yang ditanggungnya (Rp.15.000.000 – Rp9.000.000). Dan, keuntungan itu masih ditambah dengan royalti dari buku yang berhasil dipasarkan oleh pihak penerbit — yang jumlahnya 1000 buah tadi.

Saya rasa cara penerbitan yang ketiga ini cukup menarik untuk dicoba, terutama bila penulis sudah memiliki pasar tersendiri bagi bukunya, seperti para pembicara seminar, dosen, guru, dan lain sebagainya. Saya menduga, banyak penerbit yang terbuka untuk untuk kerjasama-kerjasama seperti ini, hanya saja saya belum mengetahuinya.

***

Demikianlah, sedikit pembahasan tentang tiga cara menerbitkan buku. Persoalan utama dalam dunia penerbitan yaitu penulis ingin mendapat pengakuan lewat karyanya yang ditulis dan diterbitkan, sementara penerbit tidak mau merugi dengan menerbitkan karya-karya yang tidak laku dijual. Tidak sedikit orang yang ingin menjadi penulis, maka penerbit pun makin selektif menerbitkan naskah.

Pembahasan singkat ini mungkin akan memperluas wacana Anda tentang berbagai kemungkinan penerbitan buku. Mungkin Anda akan berpikir: ternyata, menerbitkan buku itu mudah. Sebagai (calon) penulis, yang perlu dipikirkan adalah manfaat dan kualitas tulisan Anda bagi pembaca. Tidak semua tulisan bermanfaat, tidak semua hal perlu ditulis, dan tidak semua buku perlu dibaca. “Begitu kita sudah memahami tata bahasa, menulis itu tidak lain adalah berbicara di atas kertas dan, seiring dengan berjalannya waktu, belajar tentang apa yang tidak perlu kita katakan,” kata Beryl Bainbridge. (*)

Pontianak, 16-17 Januari 2013

*) Penulis lepas, guru SMA St. Petrus Pontianak

Perjuangan Hidup di Samudera Pasifik

Judul film: Life of Pi | Sutradara: Ang Lee | Pemain: Suraj Sharma, Irrfan Khan, Adil Hussain | Asal, Tahun: AS, 2012

Akhirnya, saya mendapat kesempatan untuk menonton film yang sudah saya nanti-nantikan sejak berbulan-bulan lalu. Saya mungkin adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terkesan dengan novel “Kisah Pi” karya Yann Martel. (Novel “Kisah Pi” pernah saya ulas dalam sebuah tulisan, di sini:http://tuanmalam.blogspot.com/2010/07/perayaan-yang-megah-atas-hidup.html.)

Novel “Kisah Pi” karya Yann Martel diadaptasi dengan visualisasi dan plot yang sangat menawan. Secara keseluruhan, Ang Lee, sang sutradara, berhasil “menerjemahkan” novel ini menjadi sebuah film yang indah, seru, sekaligus mengharukan.

Film ini secara garis besar mengisahkan perjuangan hidup Piscine Molitor Patel (Pi) di samudera Pasifik setelah kapal barang Tsimtsum yang membawa keluarga Pi dan hewan-hewan yang ada di kebun binatang milik ayahnya terbakar di laut. Setelah beberapa hari terkatung-katung, hanya Pi dan seekor harimau Bengali bernama Richard Parker yang bertahan hidup di atas sekoci.

Ada beberapa adegan yang menarik dalam film ini. Pertama, bagian awal film yang berisi rekaman berbagai tingkah laku aneka hewan di kebun binatang. Hewan-hewan itu tampak lucu dan menggemaskan — adegan ini pun menjadi pengantar yang baik sekali untuk film yang sedikit banyak berkaitan dengan tingkah laku hewan ini.

Kedua, adegan saat Pi diserang badai di samudera Pasifik. Ombak raksasa, petir, juga guntur di langit — begitu menegangkan dan membuat panik. Saat itu Pi berseru kepada Tuhan dengan teriakan-teriakan yang muncul dari perpaduan kegentaran dan kepasrahannya. Inilah adegan yang paling kuat memotret pertarungan batin Pi antara memilih bertahan hidup atau memutuskan mati.

Ketiga, beberapa adegan di tengah samudera pada malam hari. Ubur-ubur di tengah laut, ikan-ikan raksasa yang seliweran di dalam laut, dan saat lautan menjadi jingga dan hening — keindahan-keindahan itu begitu menakjubkan. Keindahan-keindahan itu membuat saya teringat pada narasi-narasi yang ada di novel Jim Lynch, “The Highest Tide”. Selain itu, saya jadi teringat pada dunia yang indah bernama Pandora di film “Avatar”.

Dan, adegan-adegan yang paling tak terlupakan adalah ketika Pi berusaha dengan segala cara mendekati Richard Parker, sang harimau, untuk menjadikannya teman seperjuangan bertahan hidup.

Hal yang kurang memuaskan di film ini adalah ketidakhadiran sosok Mr. Kumar, seorang atheis, guru Biologi Pi saat remaja. Mr. Kumar sebenarnya memiliki peran cukup besar dalam kehidupan Pi, sehingga saat dewasa Pi mengambil kuliah di jurusan Zoologi (tidak dikisahkan di film).

Saya beranggapan, mungkin karena film ini memiliki pesan yang kuat tentang ketuhanan, maka sosok Mr. Kumar dikesampingkan. Sejak kecil, Pi haus akan siraman rohani. Dia pertama menganut agama Hindu, lalu Kristen, dan terakhir Islam. Kepercayaan Pi pada Tuhan, juga ditambah dengan kesukaannya berlatih renang bersama Mamaji, guru renangnya, sangat berperan dalam membuat Pi bertahan selama 227 hari di samudera Pasifik yang luas.

[SPOILER ALERT: Paragraf-paragraf di bawah ini jangan dibaca kalau tidak ingin menerima bocoran akhir cerita.]

Pada akhir cerita, hal yang menarik adalah adanya sodoran dua jenis cerita kepada sidang penonton. Dikisahkan bahwa Pi diwawancarai oleh dua orang Jepang sebagai perwakilan pembuat kapal Tsimtsum. Pi tampak lelah dan kehabisan akal mengisahkan 227 hari perjuangan bertahan hidupnya di tengah laut. Ia pun akhirnya mengarang cerita yang lebih sederhana.

Seperti apakah cerita yang lebih sederhana itu? Itu cerita yang lebih masuk akal, cerita tanpa Richard Parker. Cerita Pi bertahan hidup bersama Richard Parker memang indah, dramatis, dan adikodrati. Cerita yang satunya lebih logis dan sederhana.

Dan, penonton pun pada akhirnya bebas memilih: mau percaya cerita yang mana? Tidak ada catatan bahwa kisah Pi diangkat dari kisah yang nyata. Jadi, bilamana Anda mempercayai salah satu atau keduanya, tidak masalah.

Cuma, mempercayai Tuhan tak jarang juga tidak logis. (*)

Pontianak, 5 Desember 2012

Suraj Sharma and tiger in Life of Pi.

Guru-guru yang Paling Mengesankan Sepanjang Hidup Saya

Guru yang paling sering saya kenang adalah guru yang lucu — entahlah kalau Anda. Setelah itu, barulah yang pintar atau unik dalam hal-hal tertentu. Berikut beberapa guru saya dari SD sampai kuliah yang hingga kini masih sering saya kenang.

1. Pak Ferdinandus

Pak Ferdinandus adalah guru saya waktu sekolah di SD Subsidi Suster Singkawang. Saya dan teman-teman memanggilnya Pak Ferdi. Dia terampil dalam banyak hal: pandai bermain organ dan seruling; selain mengajar Seni Musik, Pak Ferdi juga pernah mengajar Matematika, IPA, IPS, bahkan Olahraga.

Saya masih ingat saat saya di kelas 4 SD, Pak Ferdi sedang mengajar IPA. Dia menyampaikan sesuatu yang selalu saya kenang. Dia berkata kurang lebih begini, “Kalau kalian sudah besar, ciptakanlah sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Ikutilah jejak para ilmuwan dan penemu. Nah, salah satu yang menarik untuk ditemukan di masa depan adalah sepakbola di udara.”

“Sepakbola di udara” — tiga kata itu selalu terngiang-ngiang di benak saya. Seperti apa ya sepakbola di udara? Sampai kapanpun mungkin sepakbola di udara tak pernah bisa terwujudkan — entahlah. Tapi, kata-kata itu membuat saya sering berimajinasi. Puluhan tahun kemudian, saat saya membaca buku dan menonton film Harry Potter, saya pun teringat kepada Pak Ferdi saat melihat Quidditch, semacam sepakbola para penyihir yang dilakukan dengan sapu-sapu terbang di udara.

Kadang, saya berpikir, apakah Pak Ferdi pernah mengobrol dengan J.K. Rowling?

2. Pak Petrus

Di SMP Negeri 3 Singkawang, saya tidak bisa melupakan Pak Petrus, guru yang sangat kocak. Pak Petrus, bagi saya — dan saya rasa bagi kebanyakan muridnya — bukanlah guru yang ideal, dalam arti memiliki wawasan yang luas, pandai menjelaskan materi, atau pintar. Pak Petrus justru guru kami yang paling suka mengada-ada.

Pak Petrus mengajar Olahraga dan Elektronika, dia suka mengarang cerita-cerita yang tidak masuk akal. Tapi, dia menyampaikan cerita-ceritanya dengan begitu bersemangat. Saat dia bercerita, dia memperlakukan kami seperti anak kecil yang mudah dikelabui. Entahlah, sampai sekarang saya tidak tahu apakah dia sebenarnya tahu atau tidak bahwa kami tidak pernah bisa mempercayai cerita-ceritanya, hanya suka mendengarnya bercerita.

Salah satu ceritanya adalah tentang adu layang-layang. “Kalian kalau buat benang gelasan dari kaca kan? Kalau saya tidak, saya membuat benang gelasan dari intan,” katanya. Dia bercerita semua layang-layang yang dia lawan dengan benang gelasan intannya putus.

“Karena tidak ada lawan lagi, layang-layang saya cuma sendiri, saya timpakan saja benang dan layang-layang saya ke pohon kelapa! Pohon kelapa itu pun patah!” katanya dengan penuh semangat. Seisi kelas tertawa mendengarnya.

Satu hal lain yang menarik dari Pak Petrus adalah sifatnya yang pemarah dan emosional. Hal ini yang membuatnya ditakuti oleh anak-anak. Karenanya, saat dia bercerita, hampir semua anak diam mendengarkan. Hingga kini, bila saya bertemu lagi dengan teman-teman semasa SMP, kami masih sering mengenang Pak Petrus.

3. Pak Solehan

Pak Solehan — akrab disapa Pak Lehan — adalah guru agama Islam di SMA Negeri 6 Semarang. Pak Lehan memang tidak mengajar saya, tapi saya cukup akrab dengannya. Yang membuat saya terkesan dengannya adalah kedekatannya dengan para murid. Ini sedikit banyak disebabkan oleh kesibukannya membimbing ekskul band.

Saya masih ingat saat pertama kali bertemu Pak Lehan di audisi band sekolah. Sambil merokok, dia mengamati siswa-siswi kelas 1 yang sedang menunjukkan kebolehan masing-masing dalam bermain musik.

Pak Lehan selalu tampak santai. Kalau ketemu di pagi hari, dia selalu tersenyum ramah kepada semua orang. Dia tampak klop sekali mengendarai motor Vespa lawasnya. Saya mendengar dari beberapa teman, dia mengajar agama Islam dengan sangat rileks. Pernah, suatu waktu, saat ulangan umum, kunci jawaban untuk semua soal pilihan ganda yang dibuatnya adalah D.

Saya tidak pernah merasa canggung walau berbeda agama dengan Pak Lehan. Dia beberapa kali mengingatkan saya untuk tidak lupa sembahyang di gereja. Ekskul band sempat diadakan pada hari Minggu, dan saya dari gereja biasanya langsung ke sekolah, datang lebih awal dari teman-teman yang lain. Saya sempat dipasrahi kunci untuk ruang ekskul band selama beberapa minggu.

Hal yang tak terlupakan adalah tahun 1996, saat tiga band dari SMA Negeri 6 yang didaftarkan Pak Lehan ikut festival band se-Jateng-DIY menyabet habis semua gelar juara — juara pertama, kedua, dan grup band berpenampilan terbaik (tidak ada juara ketiga). Festival itu diadakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Juara pertama adalah Casta; juara kedua Golgota; dan band saya, Neo-Six, mendapat juara sebagai band berpenampilan terbaik. Kami semua begitu bangga dengan Pak Lehan.

Suatu hari, semua pemain musik dari sekolah kami bertandang ke rumah Pak Lehan di daerah Genuk, dekat Pedurungan, Semarang. Rumah Pak lehan sederhana, tapi halamannya luas. Di sana Pak Lehan dan beberapa teman saya sudah menyiapkan semua alat band. Kami bermain musik bergantian dari pagi sampai hampir malam.

4. Pak Sujud

Pak Sujud adalah dosen saya di jurusan Sejarah Univeritas Negeri Malang. Dia pernah mengajar saya di mata kuliah Prasejarah Indonesia dan Studi Masyarakat Indonesia. Pak Sujud juga menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Pak Sujud sangat ramah, suka tersenyum. Dia juga begitu cuek dalam soal penampilan, kadang bagian belakang sepatunya diinjak dengan tumitnya, jadi mirip sepatu sandal.

Yang tidak pernah saya lupakan dari Pak Sujud adalah cerita-cerita lucunya. Saya menduga, dia punya cukup banyak koleksi buku kumpulan humor. Hampir di tiap kuliahnya, selalu saja ada lelucon yang membuat suasana kelas jadi begitu cair.

Cerita-cerita lucu Pak Sujud sangat beragam: dari humor mahasiswa, humor umum, sampai humor dewasa. Dia juga pernah menggelari sebuah merek sabun sebagai “sabune babu” (sabunnya pembantu). Saya menceritakan istilah “sabune babu” itu kepada nenek saya suatu hari, waktu nenek saya baru saja membeli sabun itu untuk mandi. Nenek saya tertawa-tawa mendengar istilah “sabune babu”.

5. Pak Soepratignyo

Pak Soepratignyo — panggilannya Pak Pratig — juga dosen saya di Universitas Negeri Malang. Seingat saya, dia pernah mengajar mata kuliah Sejarah Asia Selatan dan Geohistori. Saya tidak banyak mengingat pelajaran-pelajaran Pak Pratig, tapi sampai sekarang masih mengingat wawasannya yang sangat luas.

Bila Pak Pratig sudah berdiri di depan kelas, semua mahasiswa tenang. Dia sangat pandai bercerita, juga menghapal banyak sekali fakta sejarah yang saling berkaitan. Saya pernah berpikir kalau dia adalah ensiklopedi sejarah yang bisa berjalan.

Hal yang masih saya ingat dengan jelas adalah ketika Pak Pratig mengangkat isu terorisme pada tahun 2001. Saat itu menteri senior Singapura, Lee Kuan Yuw, menyatakan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Banyak pihak yang saat itu tidak setuju dengan pernyataan sang menteri. Pak Pratig, saya masih ingat betul, tidak menyatakan setuju atau tidak. Dia hanya mengajak para mahasiswanya untuk menilik sejarah dan melihat apa yang terjadi di kemudian hari.

Hal lain yang tak terlupakan dari Pak Pratig adalah kesukaannya merokok Gudang Garam saat menjelaskan materi perkuliahan. Sekali berdiri di depan kelas, Pak Pratig bisa menghabiskan 2-3 batang rokok. Pernah, suatu ketika rokoknya habis saat dia ada di depan kelas, lalu dia meminta tolong seorang mahasiswanya membelikannya rokok.

***

Demikianlah sekilas kisah lima orang guru yang paling mengesankan dalam hidup saya. Ada kalanya saya ingin kembali duduk, mendengar, dan menyimak lagi apa yang mereka ajarkan atau sampaikan di depan kelas. Saat-saat diajar oleh mereka dan mendengarkan mereka adalah saat-saat yang berharga.

Masih ada beberapa guru lain yang meninggalkan kesan tersendiri dalam ingatan saya. Namun, ingatan tentang mereka tak sebanding dengan ingatan saya akan kelima guru ini. Saya sudah tidak pernah lagi bertemu dengan mereka bertahun-tahun. Dari kelima guru ini, hanya Pak Sujud yang saya tahu masih mengajar. (*)

Pontianak, 24-25 November 2012

Pekerjaan, Pelayanan, dan Pengabdian kepada Allah

Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”
~ Lukas 1:38 ~

Hingga kini saya masih terkesan dengan khotbah yang disampaikan Pendeta Yehezkiel Wilan, gembala sidang GBI El Shaddai Kota Baru, Pontianak, pada hari Minggu, 12 Agustus 2012 lalu. “Satu hal yang sering meresahkan saya adalah julukan hamba Tuhan. Kita semua hamba Tuhan, bukan hanya orang-orang Kristen tertentu saja,” demikian kurang lebih ia menegaskan tentang jati diri umat Tuhan.

Hanya karena seseorang berstatus hamba Tuhan, tanpa disadari orang-orang menetapkan suatu standar moral yang lebih tinggi kepadanya. Di mata sebagian orang, ia menjadi “lebih tinggi”. Dan, kita pun tidak akan pernah maukah pergi ke gereja yang hamba Tuhan atau gembala sidangnya merampok, membunuh, atau berzinah. Tapi, selama ini mungkin kita terlalu mempersoalkan rekan bisnis yang suka mencuri atau berzinah, misalnya.

Padahal, tiap orang percaya adalah hamba Tuhan. Dan, pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang kudus, yang darinya Tuhan mempercayakan berkat untuk dibagikan kepada keluarga dan sesama. Pekerjaan yang kudus bukan pelayanan gerejawi semata. Inilah yang kadang dilupakan oleh banyak orang Kristen.

Mendengar khotbah itu, saya serta-merta teringat pada sebuah buku. Di dalam bab terakhir buku legendaris A.W. Tozer yang berjudul Mengejar Allah, banyak sekali nilai penting tentang kehidupan yang berkenan kepada Allah. Bab yang berjudul Sakramen Kehidupan ini mungkin telah menjadi sebuah bab acuan bagi banyak pengkhotbah dan pemikir Kristen dewasa ini dalam menjabarkan integrasi yang terjalin antara kehidupan duniawi dengan kehidupan rohani. Di dalam bab ini dengan jelas Tozer memberi penekanan-penekanan penting bahwa segala pekerjaan dan aktivitas yang (tampak) duniawi bukan berarti tidak rohani.

Segala pekerjaan dan aktivitas manusia dapat menjadi sedemikian rohani karena ia melakukannya sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pemberi Hidup. Dan, hakikat hidup manusia adalah bekerja. “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan,” tulis Paulus. Lalu, Paulus menulis lagi: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Dan lagi, di kitab Pengkhotbah tertulis demikian, “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.”

Lewat pekerjaannya, Tuhan memberkati kehidupan seseorang. Yang perlu diingat, berkat bukan semata-mata soal materi, namun damai sejahtera dan sukacita yang ada di dalam hati manusia. Hal yang sering disalahpahami oleh beberapa kalangan adalah pada saat Tuhan memberkati hidup seseorang, Ia berarti memberikan banyak harta kepada orang itu. Hal ini tidak selalu benar. Memang, banyak ayat firman Tuhan yang memuat janji-janji Tuhan tentang kelimpahan hidup yang bisa dijadikan acuan bahwa berkat Tuhan dapat diartikan sebagai kelimpahan materi. Tapi ingat, Alkitab juga pernah bercerita tentang Yesus yang mengajarkan kepada seorang muda yang kaya untuk menjual seluruh harta miliknya.

Begitulah, karena pengajaran tentang hidup sukses nan berkelimpahan sudah sedemikian sering disampaikan, beberapa kalangan menganggap hidup yang susah atau menderita sebagai kutukan, dan sukses adalah tolok ukur hidup yang dikenan Allah. Padahal tidak demikian. Kesuksesan pun — kalau dipikirkan lagi — tolok ukurnya begitu bervariasi, walau lebih banyak orang yang mengaitkan sukses dengan harta, kemapanan finansial, dan status sosial yang terpandang.

Alkitab menunjukkan banyak sekali kisah tentang orang yang sama sekali tidak sukses di mata manusia namun hidup mereka penuh dengan kemuliaan Allah. Yeremia di Perjanjian Lama hidup penuh penderitaan hingga akhir hayatnya. Di Perjanjian Baru, Paulus, Petrus, dan banyak rasul lainnya hidup dengan keadaan yang amat sederhana, bisa dibilang melarat, bahkan akhirnya menderita sebagai martir.

Dari sinilah mungkin kita memikirkan kembali: apakah tujuan tertinggi dari pekerjaan atau pelayanan kita?

Tozer menulis dengan sangat baik tentang hal ini: “Bukan apa yang dilakukan seorang manusia yang menentukan apakah pekerjaannya kudus atau sekuler, melainkan mengapa ia melakukannya. Motif adalah segala-galanya. Biarlah seorang manusia menguduskan Tuhan Allah dalam hatinya dan setelah itu ia bisa melakukan perbuatan yang tidak biasa.”

Jadi, sebuah pekerjaan yang kudus, pada akhirnya bukan seberapa tampak rohaninya pekerjaan itu, atau seberapa banyak menghasilkan uangnya pekerjaan itu. Pekerjaan yang kudus berbicara tentang hati yang gembira saat bekerja — juga integritas, damai sejahtera, dedikasi, dan totalitas hidup seseorang di dalamnya.

Berapa pun uang yang Anda hasilkan, Anda bisa menikmati hidup. Anda rajin bekerja, tapi tidak lupa bersyukur. Anda hidup penuh visi, target, dan rencana — tapi tidak melupakan firman Tuhan yang menjaga hati dan menguji niat Anda dalam seluruh hal yang Anda rancang dan kerjakan. Apa pun pekerjaan itu, biarlah melaluinya Anda bisa mempersembahkan pengabdian yang terbaik kepada Allah. (*)

Sidik Nugroho

Pontianak, Agustus 2012

 

Perjalanan ke Singkawang, Sambas, dan Sekadau

Oleh: Sidik Nugroho

Saya pindah tanggal 27 Juni 2012 lalu dari Sidoarjo ke Pontianak. Suasana berganti, kehidupan berubah. Dulu, pada tahun 2007-2012 hampir tiap seminggu sekali saya mengendarai sepeda motor dari Sidoarjo ke Malang. Kadangkala saya naik bis karena jalan di Porong sering macet. Pengalaman bersepeda motor bukan hanya saat bekerja di Sidoarjo. Beberapa kali saya bersepeda motor ke beberapa kota di Jawa Timur: Blitar, Ngantang, Mojokerto, dan Kertosono.

Pada liburan Lebaran tahun ini, saya berkesempatan untuk bersepeda motor ke Singkawang, kota yang saya tinggali selama belasan tahun, sejak TK hingga SMP. Dalam perjalanan dari Pontianak ke Singkawang pada hari Selasa, 21 Agustus 2012, saya sempat singgah ke pantai Pasir Panjang. Dulu pengelolanya hanya satu. Sekarang, kalau tidak salah sudah dipecah dan dikelola oleh empat orang yang berbeda. Pantai ini, seperti namanya, memang panjang. Setelah dikelola oleh lebih dari satu orang, pantai ini cukup banyak berubah. Dulu cuma ada losmen, kolam renang, dan warung-warung di sepanjang pantai. Sekarang pantai ini sudah digarap lebih baik. Ada taman-taman lebih banyak, permainan seperti Banana Boat, dan lain-lain.

Saya tidak lama singgah di pantai ini, sekitar setengah jam, karena ingin segera mengunjungi teman-teman saya waktu SMP. Menjelang sore, saya sampai di Singkawang. Saya dan beberapa teman bersilaturahmi ke kawan-kawan kami. Malamnya, kami nongkrong dengan gembira di Pasar Hongkong. Kami nongkrong tidak sampai tengah malam. Beberapa orang tampak lelah dan sudah mengantuk.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi, saya berkeliling kota Singkawang sendirian. Saya melihat-lihat beberapa tempat yang sering saya kunjungi waktu kecil dulu: SD, gereja, Taman Burung, dan beberapa tempat lain. Pagi itu saya hendak berkunjung ke rumah seorang kawan, tapi dia sedang tidak ada di rumah. Saya pun menancap gas ke Pemangkat. Perjalanan dari Singkawang membutuhkan waktu kurang dari satu jam; jarak Singkawang-Pemangkat sekitar 30 km. Dalam perjalanan itu saya sempat memfoto sebuah klenteng yang bagus. Klenteng itu ada di Sebangkau, di ujung sungai yang melintas di tengah jalan. Kemudian, saya menuju ke warung di pantai di tepi jalan yang pemandangannya lumayan bagus.

Di Pemangkat ada Tanjung Batu, tempat wisata di tepi pantai. Tempat wisata ini tidak banyak perubahan sejak saya kunjungi belasan tahun silam, tahun 1996. Di pintu gerbang masuk seorang wanita duduk, pengunjung yang masuk ke dalam tempat wisata dimintanya membayar uang Rp3000 tapi karcis masuknya tidak ada. Saya masuk ke dalam. Sayang sekali, tempat wisata ini kurang diperhatikan dengan baik.

Saya meninggalkan Tanjung Batu, nongkrong di sebuah warung di tepi pantai. Di sana saya bertemu dengan dua orang bersaudara yang sedang menunggu saudara mereka dari Pontianak. Mereka berdua berasal dari Sekura, kota kecil di bagian utara Kalimantan Barat. Dari Sekura, perbatasan Indonesia-Malaysia cukup dekat, 2-3 jam sampai.

Mereka berdua memberi saran kepada saya agar melanjutkan perjalanan ke Sambas. “Sekarang lagi ramai-ramainya, Mas. Mampirlah ke sana. Kalau ke sana jangan lupa wudhu dari air kolam yang ada di dekat kraton,” kata salah satu dari mereka. Air kolam yang ada di kraton itu dipercaya memiliki khasiat tertentu oleh banyak orang. Mereka juga bercerita bahwa sultan yang ada di Sambas masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja di kerajaan Kutai dan sultan-sultan di Brunei Darussalam.

Saya pun berangkat ke Sambas sekitar jam 1 siang. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam; jarak Pemangkat-Sambas sekitar 45 km. Di sana saya langsung menuju kraton. Siang itu banyak sekali orang yang datang. Mereka umumnya datang dari Singkawang, Pontianak, dan kota-kota lainnya di Kalbar.

Hal yang disayangkan di sini adalah sampah yang berserakan di luar pagar kraton. Tempat sampah masih kurang banyak disediakan di luar kraton. Selain itu, orang-orang yang berjualan juga menyebar di mana-mana — bahkan sampai ada yang berjualan di dekat kraton, di dalam pagar. Di depan kraton ada sampan-sampan yang disediakan untuk pengunjung kraton yang mau berkeliling di sungai depan kraton. Saya berada di kraton ini sekitar satu jam. Beberapa bangunan kraton yang memajang benda-benda pusaka dan warisan leluhur dipadati pengunjung. Tidak banyak informasi seputar sejarah kraton ini yang saya gali karena terlalu banyak orang yang berkunjung di sana. Saya sempat mampir ke salah satu makam sultan Sambas, yakni Sultan Mohammad Tsafioedin II.

 Saya pulang dari Sambas sekitar jam 3 sore. Saya sampai di Singkawang sekitar pukul 16.30. Saya pun berpikir, ini waktu yang pas untuk menunggu sunset di pantai Pasir Panjang. Namun sayang, sunset kali ini kurang sempurna. Hingga terbenam, matahari berada di balik awan terus.

Namun, menyaksikan pendar jingga di langit berteman segelas kopi sambil menunggu angkasa beranjak gelap, adalah hal yang menyenangkan.

Saat malam tiba, saya pun kembali ke Singkawang. Malam ini, bersama teman-teman SMP, saya bersilaturahmi lagi ke beberapa kawan lama. Sekitar jam 11 malam kami bernyanyi-nyanyi dengan gembira di sebuah ruang karaoke hotel Dangau, sampai hampir jam 1 malam. Setelah berkaraoke, kami masih melanjutkan pertemuan di warung kopi sampai jam 2 malam.

***

Tanggal 23 Agustus 2012, pagi hari, saya kembali ke Pontianak. Malamnya saya berangkat lagi ke Sekadau. Kali ini saya tidak bersepeda motor, tapi menggunakan jasa taksi yang dimiliki kedua saudara saya.

Selama di Sekadau, saya ke sebuah tempat yang bernama Batu Tinggi atau Batu Muncul pada tanggal 24 Agustus 2012. Batu itu muncul di permukaan air sungai, terbentang hampir di sepanjang kedua tepi sungai yang lebarnya sekitar 60 hingga 70 meter. Batu ini hanya muncul saat kemarau tiba. “Hampir setiap tahun di sini ada korban, Mas,” kata salah seorang yang berkunjung di situ kepada saya. Menurut cerita beberapa orang, tempat ini dulu dianggap keramat. Ada beberapa orang yang pernah hanyut di sini.

Kemudian, pada tanggal 25 Agustus 2012 saya memancing ikan bersama adik saya dan teman-temannya di daerah Berona, di sungai Sekadau. Hampir tiga jam memancing, kami tidak mendapatkan satu ikan pun. Ada satu ikan yang hampir didapatkan, tapi lepas saat ditarik.

Karena merasa belum puas, keesokan harinya kami memancing lagi di sungai Kapuas. Kali ini kami menggunakan perahu motor untuk memancing. Saya sangat terhibur dengan pemandangan yang ada di sepanjang sungai Kapuas yang kami lewati. Sungai ini sangat lebar — ada yang lebarnya mencapai 700 meter. Kami memancing ikan di beberapa tempat di tepi sungai yang berbatu-batu. Sayang, kali ini pun kami belum beruntung. Selama hampir 5 jam memancing, kami hanya mendapatkan satu ikan kecil, namanya ikan juara. Tapi, bagaimana pun juga, pengalaman menyusuri sungai dengan perahu motor adalah hal yang menyenangkan.

Tanggal 26 Agustus 2012, malam hari, saya pun kembali ke Pontianak. Liburan sudah berakhir. Saya sungguh bersyukur dapat mengunjungi semua tempat yang saya sebut di atas, terutama pengalaman saya menyusuri sungai Kapuas dengan perahu motor sambil memancing, karena hal itu yang belum pernah saya alami sebelumnya.

Saya sampai di Pontianak pukul 03.00 dinihari tanggal 27 Agustus 2012. Saat mengajar pada pagi hari, saya masih agak mengantuk. (*)

Singkawang-Sekadau-Pontianak, 24-27 Agustus 2012

Foto-foto lebih lengkap ada di sini (Facebook saya): Foto-foto Perjalanan